Interpretasi Tarekat Al-Qodiriah dan Al-Naqsyabandiah

Toriqoh al-Qodiriah wa al-Naqsyabandiah adalah perpaduan dari dua tarekat besar yang dipelopori oleh seorang sufi berasal dari Kalimantan Barat, tepatnya di sebelah Utara Pontianak, yaitu Syekh Ahmad Khatib Ibn Abd al-Ghoffar al-Sambasi al-Jawi ( W 1878 M). Beliau menjadi Imam Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarromah, dan pada tahun 1872 M beliau resmi memadukan dua tarekat tersebut.

Di Makkah, beliau belajar pelbagai fan ilmu kepada para ulama, terutama ilmu tasawuf, sehingga beliau mendapatkan posisi kemuliaan dari sang guru dan menjadi tokoh yang berpengaruh, baik untuk penduduk lokal yang berada di sekelilingnya atau  jamaah haji dan umroh yang datang dari Indonesia. Diantara guru-gurunya adalah Syekh Daud bin Abd Allah bin Idris al-Fatani (W 1843 M), Syekh Syamsuddin seorang alim besar yang juga tinggal di Makkah, Syekh Abd al-Arsyad al-Banjari (W 1812  M) dan ulama-ulama lainnya. Syekh Sambas mencapai tingkat tertinggi dan kemudian ditunjuk sebagai Syekh al-Mursyid al-Kamil al-Mukammil oleh guru mursyidnya .

Dilain sisi,  Syekh Sambas yang menjadi mursyid tarekat al-Qodiriah, juga merupakan mursyid dari tarekat al-Naqsyabandiah, namun sanad kemursyidan dari tarekat al-Naqsyabandiyah ini belum disebutkan, dari mana beliau mendapatkan mandat mursyid tersebut sehingga sambung ke Syekh Bahauddin al-Naqsyabandi.  

Sebagai seorang mursyid yang sangat alim dan arif billah, Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi sendiri terhadap tarekat yang dipimpinnya, karena dalam Tarekat al-Qodiriah bagi seorang yang sudah mencapai posisi mursyid punya wewenang untuk memberikan ketentuan tersebut.

Syekh Ahmad Khotib tidak serta-merta menggabungkan tanpa adanya sebuah pertimbangan yang begitu matang. Akan tetapi beliau mempunyai pandangan bahwa dua tarekat itu dapat saling melengkapi dan mempunyai paham yang sama dalam masalah tasawuf, yaitu tidak menyampingkan syariat dan menolak paham wahdat al-wujud. Adapun suatu yang menjadi titik berat atas saling melengkapi dari keduanya adalah motode dzikir, Tarekat al-Qodiriah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat (la ila ha illah). Sedangkan Tarekat al-Naqsyabandiah menekankan model dzikir sir  al-ismi dzat atau dzkir al-lathifah (Allah-Allah).  Pengabungan ini pun membuat metode muroqabah menjadi lebih efektif dan efisien sehingga diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat ke-sufi-an yang lebih tinggi.

Murid-murid Syekh Sambas banyak yang berasal dari kawasan Nusantara, beberapa orang dari mereka diangkat menjadi khalifah, sebagai pengganti beliau dalam menyandang baju ke-mursyid-an. Namun setelah beliau wafat, hanya beberapa dari mereka yang diakui sebagai pemimpin utama dari TQN tersebut, yaitu Syekh Abd al-Karim, seorang ulama berasal dari Banten yang mendermakan hampir seluruh hidupnya untuk ilmu dan ibadah sehingga bermukim di Makkah, Syekh Tholhah berasal dari Cirebon, dan Kiai Ahmad Hasbullah bin Muhammad berasal dari Madura yang juga menetap di Makkah.

Dengan demikian, semua cabang Tarekat al-Qodiriah wa al-Naqsyabandiah yang tergolong penting atau mu’tabaroh pada masa sekarang ini mempunyai hubungan keguruan dengan seorang atau beberapa orang dari ketiga khalifah tersebut. Disamping mereka bertiga, sejatinya terdapat beberapa khalifah yang tidak terlalu masyhur, yaitu Syekh Muhammad bin Abd al-Rahim berasal dari Bali yang juga mengajar di Makkah dan Syekh Yasin dari Kedah yang menetap di Mampawah, Kalimantan Barat.

Syekh Abd al-Karim muridnya Syekh Sambas diangkat menjadi pemimpin TQN di Makkah setelah wafatnya Sang Guru sebagai pusat TQN kala itu. Kemudian setelah Syekh Abd al-Karim wafat, para khalifah pada masanya melepaskan diri dan masing-masing dari mereka bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain, sehingga berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independen.

Berkat independensi itu, akhirnya Tarekat al-Qodiriah wa al-Naqsyabandiah menyebar keberbagai tempat di Indonesia lantaran Syekh Thalhah yang mengembangkannya secara mandiri di Cerbon. Ke-mursyid-an yang dipimpin oleh Syekh Thalhah kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdullah Mubaroh bin Nur Mubarok. Beliau kemudian mendirikan pusat penyebaran TQN di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya) dengan berbasis Pondok Pesantren dan nama beliau lebih terkenal dengan julukan Abah Sepuh.

Menurut Zamakhsari Dhofir dalam bukunya “ Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai” bahwa pada tahun sekitar tujuh puluhan terdapat empat pusat TQN di Indonesian. Berada di Jawa Timur, Jombang, Rejoso di bawah pimpinan Kiai Romli Tamim. Beranda di Mranggen di bawah pimpinan Kiai Muslih. Berada di Suryalaya, Tasikmalaya di bawah pimpinan Kiai Shohibul Wafa Tajul Arifin yang lebih terkenal dengan julukan “Abah Anom”. Pun berada di Pangetongan, Bogor di bawah pimpinan Kiai Thohir Falak. Adapun silsilah mursyid yang berada di Jombang bersumber dari Syekh Ahmad Hasbullah. Mursyid yang berada di Suryalaya berasal dari Kiai Thalhah. Sedangan untuk Cirebon dan yang lainnya berasal dari Syekh Abd al-Karim Banten dan khalifah-khalifahnya.

Perjalanan Thoriqoh dari masa ke masa masih tetap terjaga dan terpantau rapi di Indonesia, sehingga terdapat perkumpulan tersendiri untuk menjaga keutuhan ajaran-ajaran tersebut dengan berdirinya sebuah perkumpulan yang bernama “Jam’iah Ahli al-Thoriqah al-Mu’tabarah al-Nahdiah” yang disingkat dengan nama “JATMAN”. Perkumpulan atau jam’iah itu didirikan oleh Syekh Muslih Abdurrhaman, Syekh Abdul Wahab Hasbullah dan para masyayikh yang lain pada 10 Oktober 1957 M.

Dengan sekelumit uraian tentang TQN tersebut, kita mengetahui bahwa silsilah thoriqoh dan amaliahnya itu terjaga dan sambung hingga Rosulullah SAW. Setelah selesainya ulasan mengenai TQN ini, In Sya Allah tim pendherek Al-Khidmah akan menjelaskan sedikit proses pengangkatan Khalifah ke-mursyid-an yang dilakukan oleh Kiai Ramli Tamim ke Kiai Ustman al-Ishaqi dan dari Kiai Ustman al-Ishaqi ke Kai Ahmad Asrori al-Ishaqi. Semoga cercahan pena tim Al-Khidmah ini dapat bermanfaat pada pembaca dan bisa menggerakkan hati pembaca untuk istiqomah mengikuti rutinan Majelis Al-Khidmah setiap bulanya, berupa pembacaan manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailani RA. 


Pena: Pendherek al-Khidmah Mesir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Majelis Al Khidmah: Ajaran Kiai Asrori al-Ishaqi

Interpretasi Tarekat Al-Qodiriyah dan Ajarannya

Interpretasi Tarekat Al-Naqsyabandiah dan Ajarannya