Interpretasi Tarekat Al-Naqsyabandiah dan Ajarannya


Foto: Syekh Bahauddin al-Naqsyabandi

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa Majelis Dzikir al-Khidmah ini mengikuti Tarekat al-Qodiriah dan al-Naqsyabandiah yang dibawakan oleh Kiai Ahmad Asrori sebagai guru mursyid-nya. Pun sekelumit ulasan tentang Tarekat al-Qodiriah sudah disinggung pada halaman sebelumnya. Lalu, apa itu Tarekat al-Naqsyabandiah? Itu mungkin sekilas pertanyaan yang muncul di benak pembaca. Oleh karenanya, tulisan ini akan lebih fokus untuk menguraikan sekelumit pembahasan mengenai Tarekat al-Naqsyabandiah tersebut.

Definisi tarekat terdapat beberapa versi, diantaranya, tarekat adalah jalan seorang sufi menuju tauhid (mengesakan Allah) dengan mengikuti apa yang telah diajarkan para sahabat. Dalam dunia tarekat sendiri, sebagian besar silsilah tarekat banyak yang bersambung pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Tapi beda halnya dengan Tarekat al-Naqsyabandiah yang dipercayai bersambung pada sahabat nabi yang lain, yaitu Abu Bakar RA.

Dengan mengikuti Abu Bakar RA, pada zaman Abu Yazid al-Busthami tarekat ini dikenal dengan nama “Al-Shiddiqiyah”. Tak berhenti sampai pada nama tersebut, nama tarekat ini banyak mengalami perubahan berdasarkan orang yang mengenalkan dan mengajarkannya. Pada zaman Syekh Al-Gujwadani, namanya dikenal dengan “Al-Thaifuriah” yang disandarkan pada Abu Yazid Al-Busthami. Pada zaman Syekh Bahauddin al-Uwaisi al-Naqsabandi, namanya dikenal dengan “Al-Khawajikaniah” yang disandarkan pada Syekh Al-Gujwadani. Setelah zaman Syekh Bahauddin Al-Naqsyabandi, tarekat ini dikenal dengan nama “Al-Naqsyabandiah” yang dipakai sampai sekarang, walaupun masih ada penambahan seperti “al-Naqsyabandiah al-Ahririah”, “al-Naqsyabandiah al-Mujaddidiah”, dan sebagainya.

Secara etimologi,  kata “al-Naqsyabandiah” sendiri berasal dari Bahasa Persia dan memiliki asal kata “Al-Naqsy” yang bermakna “Pengukiran”. Nama atau julukan tersebut dikarenakan Syekh Bahauddin Al-Naqsyabandi menyebut lafal Allah dengan mengukirnya di hati. Dalam Kitab Dalai al-’Aliyah a-lAsilah wa al-Ajwibah, Maulana Al-Kurdi mengutip perkataan para Khalifah al-Naqsyabandiah: “Nabi SAW telah meletakkan tangannya pada hati Syekh Bahauddin. Dan kondisi inilah yang disebut Muroqabah. Maka terukirlah (Naqsy) lafal Allah di hatinya.”

Sedangkan Syekh Bahauddin sendiri mempunyai nama asli Muhammad bin Muhammad Al-Bukhari Al-Uwaisi, lahir di Arofan pada Bulan Muharram, tahun 717 H. Kewalian dan karamah beliau sudah tampak sejak beliau kecil. Ketika beliau menginjak usia 18 tahun, kakeknya mengutusnya untuk belajar tasawuf ke daerah Samas (sebuah desa di pinggiran Ramitan, berjarak tiga mil dari Bukhara), lebih tepatnya belajar kepada mursyid yang terkenal waktu itu, yaitu Syekh Muhammad Baba Al-Samasi.

Ada kisah menarik ketika Bahauddin kecil pertama kali tiba untuk belajar di tempat Syekh Baba Al-Samasi. Beliau menceritakan, bahwa di kala sampai di kediamannya, tidaklah waktu magrib datang kecuali dengan keberkahannya yang luar biasa. Ketenangan, khusyuk, dan tadharru’ menyelimuti kala itu. Ketika waktu sahur tiba, Bahauddin kecil berwudu, lalu bergegas menuju masjid untuk menunaikan salat malam. Dan dalam posisi sujud ia berdoa, Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk memikul bencana dan malapetaka cinta. Kemudian ia menunaikan salat subuh bersama Syekh Baba.

Syahdan, setelah salat selesai, Syekh Baba memandangnya seraya berkata: Wahai anakku!, sepantasnya kamu berkata seperti ini dalam doamu; Ya Allah!, berikan hambamu ini sesuatu yang menyebabkan keridaanmu. Doa itu mengisyaratkan, bahwa Allah tidak akan rela apabila kekasihnya ditimpa bencana dan cobaan, terkecuali hal itu karena semata-mata ada hikmah besar di dalamnya. Tak ayal ketika Allah memberinya kekuatan untuk memikul bencana itu, pasti terdapat hikmah agung yang menyertainya. Pun tidak pantas bagi seorang hamba memilih bencana, karena hal itu bertentangan dengan etika.

Ajaran Tarekat Al-Naqsyabandiah

Dalam Tarekat al-Naqsyabandiah, berdzikir secara kolektif adalah salah satu amalan yang menjadi tradisi. Pada zaman Syekh Abdul Khaliq Al-Gujwudani sampai Syekh Sayid Amir Kulal, zikir masih dibaca secara jahar (lantang). Namun, pada zaman Syekh Bahauddin, zikir dibaca dengan khafi (lirih) secara personal.

Ketika Syekh Bahauddin mengikuti lantunan dzikir yang dibaca guru-nya -Syekh Amir Kulal- dengan lantang. Syekh Bahauddin merasa tidak setuju dan lebih suka menyendiri dengan membaca zikir secara khafi. Pada akhirnya, kejadian tersebut diketahui oleh murid-murid yang lain dan mereka mengadukan hal tersebut pada Syekh Amir Kulal. Lalu beliau berkata: “Biarkan dia, marifat-nya lebih tinggi daripada kalian.”

Dzikir khafi yang terdapat dalam tarekat al-Naqsyabandiah, yaitu membaca Allah, Allah, dalam hati sehabis salat fardhu sebanyak seribu (1000) kali, sebelum  membacanya terdapat tata cara sebagai berikut.

Pertama, murid duduk kebalikan tawarruk salat -seperti duduk tahyat akhir dalam salat, akan tetapi kaki yang diduduki adalah kaki kanan, sedangkan kaki kiri dijulurkan ke belakang- menghadap kiblat dan dalam keadaan suci dari hadas.

Kedua, bertawassul fatihah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, kepada guru tarekat dalam silsilahnya, kepada kedua orang tua, dan kepada segenap orang Islam baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup.

Ketiga, membaca istighfar sebanyak lima kali dengan bacaan, “astagfirullah robbi min kulli dzanbin wa atubu  ilaih”  dan dilanjutkan dengan membaca surat al-Ikhlas tiga kali, setelah itu membaca sholawat Ibrohimiyah, kemudian lidah dilipat ke atas seraya ber-rabithah, yaitu membayangkan seakan-akan guru hadir di hadapannya, atau yang lebih utama, membayangkan seakan-akan dirinya hadir di hadapan guru mursyid-nya dengan hati khusyuk seraya mengingat Allah.

Keempat, menjalankan dzikir khafi seribu (1000) kali, kemudian diakhiri dengab membaca, “Allahumma anta maqsudii wa ridhaka mathlubi a’thini mahabbataka wa ma’rifataka” sebanyak tiga kali.

Dengan ulasan singkat yang telah penulis jelaskan di atas, mungkin sedikit membantu pembaca untuk mengetahui sekelumit akan Tarekat al-Naqsyabandiah itu sendiri. Sebagai penutup, bagi pembaca yang ingin lebih mendalami wawasan seputar Tarekat al-Naqsyabandiah, bisa membaca kitab Thoriqoh al-Naqsyabandiyah karya Syekh Ma’sum Al-Khiznawi dan Dalai al-Aliyah al-Asilah wa al-Ajwibah karya Muhammad Najmuddin Al-Kirdi. Wallahu A’lam bi al-showab

Pena: Pendherek al-Khidmah Mesir


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Majelis Al Khidmah: Ajaran Kiai Asrori al-Ishaqi

Interpretasi Tarekat Al-Qodiriyah dan Ajarannya