Interpretasi Tarekat Al-Qodiriyah dan Ajarannya

Foto: Gambar Syekh Abdul Qodir al-Jailani (menurut salah satu riwayat)

   Tarekat merupakan sebuah istilah yang merujuk pada aliran-aliran dalam dunia tasawuf atau sufisme. Sedangkan definisi dari tarekat sendiri adalah perjalanan hati yang dilakukan oleh seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah SWT) dengan berupaya menempuh tahap-tahap yang telah ditentukan oleh guru tarekat (mursyid) untuk menerobos nafsunya.

   Tarekat memiliki banyak aliran seperti tarekat al-Qodiriyah, al-Naqsyabandiyah, al-Syadziliyah, al-Tijaniyah dan masih banyak yang lainnya, dengan penisbatan kepada nama para pendirinya. Tarekat al-Qodiriyah merupakan salah satu tarekat yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang hidup pada tahun 470-560 H. Nama lengkapnya yaitu Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin Ibnu Sholih bin Musa Janki Dausat (Jangka Dausat) bin Abdullah bin Yahya al-Zahid al-Jailani. Pun beliau merupakan keturunan dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib RA.

    Beliau adalah seorang sufi besar yang kewalian dan kealimannya mendapat pujian dari para sufi dan ulama sesudahnya, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Arabi (638 H), bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang yang pantas untuk mendapatkan predikat Quthb al-Auliya’ pada masanya. Demikian juga Ibnu Taimiyah (728 H) menyatakan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibnu Arabi tentang Syekh Abdul Qodir al-Jailani.

    Menurut Hujwiri, klasifikasi dan hierarki para penerima pencerahan Ilahi (waliyullah) terbagi pada enam tingkatan. Tingkat dasar adalah al-Akhyar berjumlah 300 orang, tingkat al-Abdal berjumlah 40 orang, tingkat al-Abrar berjumlah 7 orang, tingkat al-Autad berjumlah 4 orang, tingkat al-Nuqoba 3 orang dan tingkat tertinggi adalah al-Quthb atau Gahwats 1 orang, yaitu Syekh Abdul Qodir al-Jailani sebagai wali al-Quthb pada zamannya.

     Perkembangan tarekat al-Qodiriyah ke berbagai daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad adalah suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke pelbagai negeri Islam. Di antaranya ialah, Ali Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad al- Bata’ihi di daerah Balbek dan Syiria dan Muhammad Ibn Abdu al-Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir. Pun berkat dari putra-putri Syekh Abdul Qodir sendiri yang melanjutkan tarekat ayahandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini tersebar di pelbagai kawasan Islam, baik di Barat maupun di Timur.

    Setelah satu abad kemudian, tarekat ini masuk ke India untuk pertama kalinya, lalu mulai berkembang pada abad ke 15. Pada masa yang sama tarekat ini juga masuk dan berkembang di Afrika Utara, sehingga kemudian juga ikut masuk dan berkembang di Afrika Timur.

    Pada sekitar abad ke-16 M tarekat al-Qodiriyah mulai masuk ke Indonesia terutama di pulau Jawa,  yang kemudian mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19 M. Selain itu tarekat al-Qodiriyah juga disebut-sebut sebagai tarekat yang paling tua dan paling luas penyebarannya di Indonesia.

Ajaran Tarekat Al-Qodiriyah

   Pada dasarnya ajaran tarekat al-Qodiriyah sama seperti golongan Ahlusunah wal Jamaah lainnya. Menurut al-Sya’rani, bentuk dan karakter tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah tauhid, namun pelaksanaannya masih tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin. Sedangkan Ady Ibn Musafir berasumsi bahwa karakter tarekat al-Qodiriyah adalah tunduk di bawah garis dekapan takdir dengan kesucian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin.

  Tarekat al-Qodiriyah memiliki tujuh ajaran pokok yang dijadikan asas untuk mencapai kesucian tertinggi pada diri, yang meliputi: Taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, ridha dan tulus (shidq). Tujuh ajaran ini digunakan oleh salik untuk mengendalikan nafsunya dalam menghadapi fatamorgana dunia yang fana ini. 

 Taubat menurut ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani memiliki dua pembagian. Pertama, taubat yang berkaitan dengan manusia, yaitu menghindari kedzaliman kepada sesama. Kedua, taubat yang berkaitan dengan Allah, yaitu menyesal, beristighfar dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Pada maqam zuhud juga terbagi menjadi dua. Pertama, zuhud hakiki yaitu mengeluarkan dunia dari hatinya. Kedua, zuhud lahir yaitu mengeluarkan dunia dari genggamannya.

    Dalam setiap ajaran atau maqomat dalam tarekat al-Qodiriah, Syekh Abdul Qadir selalu memiliki alasan dan maksud tersendiri untuk mencapai kesucian hati dari segala nafsu duniawi yang harus diperangi. Di sinilah letak perbedaan manusia yang memiliki perasaan tawakal atau tidak. Sehingga manusia yang mengejar dunia hatinya akan sibuk dan lalai hingga terjerumus ke jurang kenistaan. Sedangkan manusia yang sibuk berbenah (muhasabah al-nafs) untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyucikan hatinya, akan selalu berusaha untuk menjauhi pelantara yang akan mengantarkannya ke lembah kemaksiatan.

    Kendati demikian, dalam ajaran tarekat al-Qodiriah juga terdapat amalan yang harus dikerjakan oleh seorang murid setelah ber-bai’at (melakukan janji setia) kepada guru mursyid-nya, yaitu membaca “laa ila ha illah” setiap habis sholat fardhu sebanyak 165 kali. Sebelum memulai dzikir tersebut, ia terlebih dahulu harus membaca istighfar “astagfirullah al-ghofur al-rohim” sebanyak  tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan membaca sholawat “allahuma sholli ala sayyidina Muhammad” sebanyak tiga kali, lalu barulah bisa memulai untuk membaca dzikir “laa ila ha illallah” sebanyak 165 kali dan diakhiri dengan membaca “muhammad al-rosulullah shollahu alaihi wa sallam”. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca sholawat munjiat dan ditutup dengan membaca al-Fatihah. Wallahu a’lam bi al-Shawab

Pena: Pendherek al-Khidmah Kairo Mesir

Referensi

 Ahmad Asrori al-Ishaqi, Al-Khulashoh (Surabaya, al-Wafa. Tt.)

H.A.R Gibb, Al-Taftazani, Sufi Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1974)

Sayyed Hosein Nasr (ed), Eksiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2003)

Kharisudin Aqib, Al-HIKMAH: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000)

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Majelis Al Khidmah: Ajaran Kiai Asrori al-Ishaqi

Interpretasi Tarekat Al-Naqsyabandiah dan Ajarannya