Perjalanan Majelis Al Khidmah: Ajaran Kiai Asrori al-Ishaqi
Foto Jamaah al-Khidmah; acara 27 Romadhon di PonPes al-Fitroh Surabaya |
Jamaah Al Khidmah dan tradisi haul akbar tidak lepas dari
sosok KH. Achmad Asrori Al Ishaqy. Kiai Asrori merupakan putra keempat dari
sepuluh bersaudara. Putra dari KH Muhammad Utsman Al Ishaqy dan Nyai Hj Siti
Qomariyah. Beliau lahir di Surabaya, 17 Agustus 1950.
Nama Al Ishaqy adalah gelar yang dinisbatkan kepada
Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Sedangkan, Kiai Utsman ayah Kiai Asrori
sendiri adalah keturunan ke-14 dari Sunan Giri. Dan ibunya Siti Qomariyah juga
mempunyai silsilah nasab yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati, Cirebon.
Dikutip dari literasi Al Fithrah, tanda-tanda Kiai Asrori
akan menjadi seorang tokoh panutan sudah tampak sejak muda. Setelah menuntut
ilmu di beberapa Pondok Pesantren, Kiai Asrori muda memulai dakwahnya kepada
pemuda-pemuda jalanan. Beliau menggunakan metode dakwa yang unik, yaitu mengikuti
hobi anak-anak jalanan seperti bermain musik, nongkrong, dan sejeninya. Anak-anak
muda itupun sedikit demi sedikit bisa menerima ilmu yang diselipkan Kiai Asrori,
melalui obrolan ringan ketika mereka semua sedang berkumpul.
Perjalanan dakwah itu ibarat lampu yang menerangi
sekitarnya. Dikala lampu itu menyala di lingkungan yang gelap, maka akan
terlihatlah cahaya disana dan sinarnya tidak tersiasiakan. Dan apabila lampu
itu menyala di tempat yang terang berderang, maka pada hakikatnya tempat itu
tidak butuh pada lampu itu dan sinarnya akan tersia-siakan.
Dalam sekala yang lebih kecil, metode
dakwah semacam ini mirip dengan metode dakwah yang dilakukan oleh pendakwah Islam
generasi awal. Khususnya Wali Songo, di mana cara mereka berdakwah pada waktu
itu adalah melalui cara mengakulturasikan budaya Islam dan budaya lokal yang
mengakar kuat di masyarakat.
Mereka tak lantas langsung “membabat habis” budaya-budaya
lokal yang pada waktu itu bisa dibilang “tidak Islami”, seperti wayangan,
gendingan, gendorenan, dan lain sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal
tersebut justru digunakan sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik
pribumi terhadap Islam. Sehingga, setelah timbul rasa ketertarikan dalam diri
mereka, secara psikologis mereka juga tentu akan lebih siap untuk menerima
dakwah Islam pada tahap selanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak
pula pemuda yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang dilakukan
oleh Kiai Asrori. Sehingga pada akhirnya, Kiai Asrori mengajak mereka untuk
mengadakan majelis manaqiban dan pengajian di Gresik. Majelis yang
pertama kali ini dilaksanakan di kampung Bedilan. Yang dikemudian hari diadakan
secara rutin tiap bulannya di tempat tersebut.
Majelis ini diisi dengan pembacaan manaqib Syaikh
Abdul Qodir Al Jailany, pembacaan mawlid, dan tanya jawab keagamaan. Awalnya,
majelis tersebut diberi nama Jamaah (KACA), akronim dari Karunia Cahaya Agung.
Namun, agar lebih familiar, Kiai Asrori menyebut anggota jamaah KACA dengan
jamaah “Orong-Orong”. Secara harfiah, Orong-Orong adalah binatang melata yang
biasa keluar saat malam hari. Secara filosofis, penyebutan nama semacam ini
disesuaikan perilaku anak-anak muda pengikut Kiai Asrori yang rata-rata memang
mempunyai kebiasaan keluar pada waktu malam hari.
Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian
menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah,
yang dikemudian hari bermetamorfosis dan menjadi embrio dari lahirnya jamaah Al
Khidmah. Meski masih muda, ketokohan Kiai Asrori yang kharismatik dan netral
serta sikapnya yang non-partisan terhadap kelompok keagamaan ataupun terhadap
partai politik tertentu. Pada akhirnya, membuatnya disegani oleh berbagai
kalangan masyarakat, dari berbagai strata sosial dan kelompok-kelompok yang
berbeda-beda.
Majelisnya bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun
dan dari kelompok manapun. Oleh karena itu, kesan eksklusif pun hilang dalam
majelisnya. Maka tak heran, jika para pejabat sipil yang kadang memiliki
pandangan berbeda, terlihat rukun dan mau duduk bersama dalam majelis yang
diadakannya.
Pada 1983, Kiai Asrori mendirikan musala di Kelurahan
Tanah Kali Kedinding, Surabaya. Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat
sekitar yang antusias serta tertarik untuk memondokkan anak-anak mereka di
kediaman baru Kiai Asrori itu. Walhasil, beliau mendirikan masjid dan Pondok Pesantren,
yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah.
Di Ponpes al-Salafi al-Fithrah yang didirikan, tak kurang
dari 2.000 santri putra-putri yang mukim, dan 1.200 santri yang mengaji
pulang-pergi. Lembaga pendidikan formal di pesantren ini tersedia lengkap.
Mulai tingkat kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sedangkan, pendidikan
nonformal pada malam hari, ada TPQ dan madrasah diniyah.
Sejak Kiai Asrori membuka pengajian rutin bulanan di
Pondok Pesantren al-Salafi al-Fitroh ini, jamaahnya bertambah dengan pesat.
Pengajian bulanannya dihadiri tak kurang oleh 20.000 jamaah yang datang dari
berbagai kota di pulau Jawa. Sedangkan haul akbar yang rutin diadakan setiap
tahun di tempat yang sama, dihadiri tak kurang dari 200.000 jamaah yang
berdatangan dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, ada majelis dzikir rutin
mingguan dan majelis manaqiban bulanan yang di hadiri lebih dari sepuluh
ribu jamaah.
Dengan didasari atas kesadaran bahwa manusia tidak akan
hidup selamanya, Kiai Asrori berfikir jauh demi keberlangsungan pembinaan
jamaah yang jumlahnya telah mencapai ratusan ribu orang. Karena itu, dibentuk
organisasi keagamaan bernama Jamaah Al Khidmah. Organisasi ini dideklarasikan
secara resmi pada 25 Desember 2005, di Semarang, Jawa Tengah.
Sepeninggal Kiai Asrori, Jamaah Al Khidmah hingga kini
masih terus eksis dalam menyelenggarakan majelis-majelis zikir. Bahkan, terus
bertumbuh dan berkembang pesat. Tidak hanya di kabupaten atau kota di
Indonesia, tapi juga di luar negeri. Di antaranya, Malaysia, Thailand,
Singapura, Belgia, Arab Saudi dan Negara lainnya.
Kiai Asrori wafat pada 18 Agustus 2009, tepatnya hari Selasa, sekitar pukul 02.00 WIB atau 26 Syaban 1430 H di usia 58 tahun. Beliau dimakamkan di masjid lama kompleks area Ponpes Assalafi Al Fithrah, Tanah Kali Kedinding, Kenjeran, Surabaya.
Pena: Pendherek Al Khidmah Kairo Mesir
Komentar
Posting Komentar