Alasan Mengapa Jamaah Al-Khidmah Memakai Baju Putih Saat Acara?
Foto: Jamaah Menyima' Mauidzoh Hasanah dari Habib Umar |
Memang banyak yang beranggapan bahwa baju putih
merupakan intipati dari majelis al-Khidmah, sehingga seringkali jamaah enggan
untuk hadir pada majelis itu lantaran tidak punya baju putih. Padahal, baju
warna putih itu hanya sekedar penyempurna atau mencari keutamaan
dengan mengikuti lelampah para guru hingga ke Rosullah SAW. Oleh karena itu, para jama’ah yang tidak punya baju putih tetap diharapkan kehadiranya dalam majelis
al-Khidmah meskipun menggunakan baju
yang berwarna lainnya.
Berkat keresahan yang dialami, disini kami akan sedikit
menjelaskan alasan atas pertanyaan-pertanyaan seputar baju putih tersebut. Imam Sirojuddin Abu Hafs dalam kitabnya “al-Taudhih li al-Syarhi al-Jami' al-Shahih 9/471” menjelaskan bahwa pakaian putih adalah pakaian yang paling utama, dan pakaian yang dipakai oleh para Malaikat yang membantu Rasulullah SAW dalam perang Uhud dan perang lainnya. Rasulullah SAW pun acapkali
mengenakan pakaian putih dan menghimbau para
sahabat untuk memakainya juga.
Dalam hadits shahih riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain,
disebutkan:
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ البَيَاضَ؛ فَإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ،
وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih, karena pakaian itu adalah sebaik-baiknya
pakaian dan kafanilah orang-orang mati kalian dengan pakaian berwarna putih juga.
Dikala memandang shighot amar (bentuk kalimat perintah) dari segi makna asalnya, maka hadist tersebut menunjukkan arti wajib. Akan tetapi,
lantaran Rasulullah SAW dan para sahabat terkadang memakai pakaian selain
warna putih, sehingga hal itu dijadikan qorinah (tanda) bahwa bentuk perintah pada hadits itu
merupakan sebuah kesunnahan atau sebatas anjuran.
Pada hadits yang lain disebutkan bahwa
Malaikat Jibril AS ketika datang kepada Rasulullah SAW untuk mengajarkan pokok-pokok
agama kepada Nabi dan para sahabat, yaitu Islam, Iman dan Ihsan, beliau mengenakan
pakaian yang sangat putih. Dari riwayat hadits tersebut, banyak ulama yang
menyatakan bahwa seyogiyanya dalam majelis
dzikir dan ta’lim (belajar-mengajar) umat Islam menganakan baju putih
sebagai bentuk tafa’ulan (optimisme) agar Allah
membersihkan hatinya. Sehingga mereka dapat dengan mudah menerima ilmu yang dipelajari dikala belajar-mengajar dan mempermudah terbekasnya kalimat tauhid dalam hati dikala duduk dalam majelis dzikir.
Kendati demikian, majelis dzikir yang diselenggarakan
oleh majelis al-Khidmah dengan pelbagai rangkaian acaranya, dari tawassul,
berdzikir kepada Allah SWT, dan membaca manaqib Syaikh
Abdul Qodil al-Jailani RA, serta membaca shalawat kepada
baginda Rasululillah SAW bukalah suatu perkumpulan biasa. Perkumpulan itu untuk
menggemakan dan men-syiar-kan Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh Kiai Asrori RA, beliau mengatakan:
الذكر مطلب خير في الأنام واجتماعه أعظم شعار في
الإسلام
Berdzikir adalah sumber
segala kebaikan manusia, dan perkumpulannya adalah syi’ar terbesar dalam
Islam.
Dengan
kemuliaan majelis itu, maka sangat dianjurkan terhadap para jamaah untuk berpakaian dengan
pakaian yang paling baik, yaitu berwarna putih.
Makna Tersirat dari Baju Putih dalam Majelis Al-Kidmah.
Dengan berbagai latar belakang jamaah yang beraneka ragam, baik yang berada dalam negeri maupun luar negeri, baju putih dapat
berperan untuk menghilangkan kesenjangan antara mereka. Dari segi sosial-ekonomi, menyamaratakan
antara si miskin dengan si kaya. Dari segi pangkat atau jabatan, menyelarasikan
antara pejabat sipil atau pemerintah dengan rakyat jelata. Pan dari segi
pengetahuan, tidak membedakan antara profesor dengan orang biasa, sehingga mereka semua
dapat duduk bersama dengan marasakan persamaan, yaitu sama-sama hamba Allah yang murni untuk
menghadap kepada-Nya dalam suatu
majelis dengan berdzikir dan menyampaikan
salam kepada baginda Nabi dengan membaca kitab dhiba’.
Kendati demikian, memakai pakaian putih merupakan
salah satu upaya untuk menimbulkan perasaan rendah hati atau tidak sombong, agar bisa menjaga perilaku dan menimbulkan rasa malu untuk melakukan perbuatan tercela dikala perilakunya tidak sesuai dengan putih
dan bersihnya pakaian yang dipakai. Pun diharapkan seorang bisa mengambil
pelajaran dari pakaiannya untuk menjadi hamba yang berperilaku luhur, menghiasi dirinya dengan
akhlak yang mulia dan membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela,
sebagaimana tercermin dari putihnya pakaian yang ia kenakan.
KH. Achmad Asrori sebagai guru mursyid dan pembimbing jamaah al-Khidmah, sekaligus memberi teladan untuk berpakaian putih
kepada para murid dan para jamaah-nya, tentu tidak hanya sekedar berpakaian saja. Akan tetapi, beliau ingin mereka berusaha untuk
membersihkan perilaku dan hati mereka yang kurang baik dalam berinteraksi
terhadap sesama dan terhadap Tuhannya.
Hal ini sebagai antisipasi agar tidak terjerumus terhadap
ungkapan yang disampaikan oleh sahabat Abu Ubaidah RA
yang dikutip oleh Imam al-Sya'rani dalam kitabnya "al-Thabaqat al-Kubra", beliau mengatakan:
“Ketahuilah, banyak sekali orang berpakaian putih, tetapi sayangnya ia menodai
agamanya dengan perilaku tercela”. Kendati pakaian putih memiliki keutamaan, tapi
masih ada umat Islam yang kurang memperhatikan cover bathinnya (baca: perilaku)
sebagaimana cover dhohir-nya (baca: baju).
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa point.
Pertama, berpakaian putih termasuk salah satu ihya' al-Sunnah (menghidupkan sunnah Nabi SAW). Oleh karena itu,
para jamaah yang akan menghadiri majelis dianjurkan
untuk mengenakan pakaian
putih dengan diniati untuk mengikuti salah satu sunah Nabi SAW, serta untuk menjaga kebiasaan orang-orang shalih dalam mensuri
tauladani kekasihnya.
Kedua, dari pakaian putih kita dapat mengambil ‘ibrah (pelajaran) disetiap kali mengenakannya, yaitu sebagai media untuk intropeksi diri, apakah hati dan perilaku kita seputih dan sebersih pakaian yang kita kenakan?. Pun sebagai bentuk tafa’ul, semoga dengan pakaian putih yang kita kenakan dalam manjelis itu menjadikan washilah atas bersihnya hati dan fikiran kita dari hal-hal tercela, serta bersihnya raga kita dari perbuatan dosa. Wallahu A’lam bi al-Showab.
Komentar
Posting Komentar