Alasan Mengapa Jamaah Al-Khidmah Memakai Baju Putih Saat Acara?


Habib Umar al-Jailani Memberikan Mu'idzoh hasanah
Foto: Jamaah Menyima' Mauidzoh Hasanah dari Habib Umar 

      Di setiap acara majelis al-Khidmah, hampir semua jamaah yang datang mengenakan pakaian serba putih. Sehingga tatkala kita hadir pada majelis itu dengan pakaian selain warna putih, seakan kita menjadi orang asing karena berbeda dengan yang lainnya. Padahal esensi dari majelis itu adalah pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jailani RA dan maulid Nabi SAW. Toh pun Allah tidak memandang baju dan bantuk hamba-Nya, tapi Ia memandang hati dan perilaku hamba-Nya. Keresahan ini menjadikan jamaah bertanya-tanya, adakah dalil yang menganjurkan untuk berpakaian serba putih itu? dan apa makna tersirat dari pakaian warna putih itu sendiri?.

Memang banyak yang beranggapan bahwa baju putih merupakan intipati dari majelis al-Khidmah, sehingga seringkali jamaah enggan untuk hadir pada majelis itu lantaran tidak punya baju putih. Padahal, baju warna putih itu hanya sekedar penyempurna atau mencari keutamaan dengan mengikuti lelampah para guru hingga ke Rosullah SAW. Oleh karena itu, para jama’ah yang tidak punya baju putih tetap diharapkan kehadiranya dalam majelis al-Khidmah meskipun menggunakan baju yang berwarna lainnya.

Berkat keresahan yang dialami, disini kami akan sedikit menjelaskan alasan atas pertanyaan-pertanyaan seputar baju putih tersebut. Imam Sirojuddin Abu Hafs dalam kitabnya al-Taudhih li al-Syarhi al-Jami' al-Shahih 9/471” menjelaskan bahwa pakaian putih adalah pakaian yang paling utama, dan pakaian yang dipakai oleh para Malaikat yang membantu Rasulullah SAW dalam perang Uhud dan perang lainnya. Rasulullah SAW pun acapkali mengenakan pakaian putih dan menghimbau para sahabat untuk memakainya juga. Dalam hadits shahih riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, disebutkan:

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ البَيَاضَ؛ فَإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih, karena pakaian itu adalah sebaik-baiknya pakaian dan kafanilah orang-orang mati kalian dengan pakaian berwarna putih juga.

Dikala memandang shighot amar (bentuk kalimat perintah) dari segi makna asalnya, maka hadist tersebut menunjukkan arti wajib. Akan tetapi, lantaran Rasulullah SAW dan para sahabat terkadang  memakai pakaian selain warna putih, sehingga hal itu dijadikan qorinah (tanda) bahwa bentuk perintah pada hadits itu merupakan sebuah kesunnahan atau sebatas anjuran.

Pada hadits yang lain disebutkan bahwa Malaikat Jibril AS ketika datang kepada Rasulullah SAW untuk mengajarkan pokok-pokok agama kepada Nabi dan para sahabat, yaitu Islam, Iman dan Ihsan, beliau mengenakan pakaian yang sangat putih. Dari riwayat hadits tersebut, banyak ulama yang menyatakan bahwa seyogiyanya dalam majelis dzikir dan ta’lim (belajar-mengajar) umat Islam menganakan baju putih sebagai bentuk tafa’ulan (optimisme) agar Allah membersihkan hatinya. Sehingga mereka dapat dengan mudah menerima ilmu yang dipelajari dikala belajar-mengajar dan mempermudah terbekasnya kalimat tauhid dalam hati dikala duduk dalam majelis dzikir.

Kendati demikian, majelis dzikir yang diselenggarakan oleh majelis al-Khidmah dengan pelbagai rangkaian acaranya, dari tawassul, berdzikir kepada Allah SWT, dan membaca manaqib Syaikh Abdul Qodil al-Jailani RA, serta membaca shalawat kepada baginda Rasululillah SAW bukalah suatu perkumpulan biasa. Perkumpulan itu untuk menggemakan dan men-syiar-kan Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh Kiai Asrori RA, beliau mengatakan:

الذكر مطلب خير في الأنام واجتماعه أعظم شعار في الإسلام

Berdzikir adalah sumber segala kebaikan manusia, dan perkumpulannya adalah syi’ar terbesar dalam Islam.

      Dengan kemuliaan majelis itu, maka sangat dianjurkan terhadap para jamaah untuk berpakaian dengan pakaian yang paling baik, yaitu berwarna putih.

Makna Tersirat dari Baju Putih dalam Majelis Al-Kidmah.

      Dengan berbagai latar belakang jamaah yang beraneka ragam, baik yang berada dalam negeri maupun luar negeri, baju putih dapat berperan untuk menghilangkan kesenjangan antara mereka. Dari segi sosial-ekonomi, menyamaratakan antara si miskin dengan si kaya. Dari segi pangkat atau jabatan, menyelarasikan antara pejabat sipil atau pemerintah dengan rakyat jelata. Pan dari segi pengetahuan, tidak membedakan antara profesor dengan orang biasa, sehingga mereka semua dapat duduk bersama dengan marasakan persamaan, yaitu sama-sama hamba Allah yang murni untuk menghadap kepada-Nya dalam suatu majelis dengan berdzikir dan menyampaikan salam kepada baginda Nabi dengan membaca kitab dhiba’.

Kendati demikian, memakai pakaian putih merupakan salah satu upaya untuk menimbulkan perasaan rendah hati atau tidak sombong, agar bisa menjaga perilaku dan menimbulkan rasa malu untuk melakukan perbuatan tercela dikala perilakunya tidak sesuai dengan putih dan bersihnya pakaian yang dipakai. Pun diharapkan seorang bisa mengambil pelajaran dari pakaiannya untuk menjadi hamba yang berperilaku luhur, menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela, sebagaimana tercermin dari putihnya pakaian yang ia kenakan.

KH. Achmad Asrori sebagai guru mursyid dan pembimbing jamaah al-Khidmah, sekaligus memberi teladan untuk berpakaian putih kepada para murid dan para jamaah-nya, tentu tidak hanya sekedar berpakaian saja. Akan tetapi, beliau ingin mereka berusaha untuk membersihkan perilaku dan hati mereka yang kurang baik dalam berinteraksi terhadap sesama dan terhadap Tuhannya.

Hal ini sebagai antisipasi agar tidak terjerumus terhadap ungkapan yang disampaikan oleh sahabat Abu Ubaidah RA yang dikutip oleh Imam al-Sya'rani dalam kitabnya "al-Thabaqat al-Kubra", beliau mengatakan: “Ketahuilah, banyak sekali orang berpakaian putih, tetapi sayangnya ia menodai agamanya dengan perilaku tercela”. Kendati pakaian putih memiliki keutamaan, tapi masih ada umat Islam yang kurang memperhatikan cover bathinnya (baca: perilaku) sebagaimana cover dhohir-nya (baca: baju).

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa point. Pertama, berpakaian putih termasuk salah satu ihya' al-Sunnah (menghidupkan sunnah Nabi SAW). Oleh karena itu, para jamaah yang akan menghadiri majelis dianjurkan untuk mengenakan pakaian putih dengan diniati untuk mengikuti salah satu sunah Nabi SAW, serta untuk menjaga kebiasaan orang-orang shalih dalam mensuri tauladani kekasihnya.

Kedua, dari pakaian putih kita dapat mengambil ‘ibrah (pelajaran) disetiap kali mengenakannya, yaitu sebagai media untuk intropeksi diri, apakah hati dan perilaku kita seputih dan sebersih pakaian yang kita kenakan?. Pun sebagai bentuk tafa’ul, semoga dengan pakaian putih yang kita kenakan dalam manjelis itu menjadikan washilah atas bersihnya hati dan fikiran kita dari hal-hal tercela, serta bersihnya raga kita dari perbuatan dosa. Wallahu A’lam bi al-Showab.

 Pena: Pendherek Al-Khidmah Kairo Mesir





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Majelis Al Khidmah: Ajaran Kiai Asrori al-Ishaqi

Interpretasi Tarekat Al-Qodiriyah dan Ajarannya

Interpretasi Tarekat Al-Naqsyabandiah dan Ajarannya